Hai pangeran, jadi apa
kabar di sana? Masih dengan kekasihmu itu? Tentu saja masih ya, aku lihat tweet mu pagi ini, dan rasanya semua
masih berjalan dengan baik-baik saja. Begitu bukan?
Adalah menjadi kebiasaan
saat diri ini tersadar setiap detik jam dinding waktu tidak berhenti. Lalu aku
berjalan keluar dan mendapatkan matahari yang sudah digantikan senja. Aaahhh...
lagi-lagi aku mendambakan senja. Saat dimana aku mengetahui kau baru saja
bangun dari tidur pulasmu di benua seberang sana. Selamat pagi, pengeran...
semoga harimu indah. Maaf aku belum bisa mengucapkannya lewat mention atau message. Terlalu biasa. Aku lebih suka menitipkannya pada langit
oranye tanpa perlu khawatir kau mengetahuinya atau tidak. Itu aman.
Dulu aku percaya pada
seorang peramal. Bagiku mereka adalah utusan Tuhan yang diberi tugas untuk
menyampaikan kebenaran yang ada. Mereka bagaikan gerombolan orang yang tahu
segalanya. Aku suka menanyai mereka ketika aku tak bisa mendalami perasaan
seseorang di masa lalu. Tapi kali ini? Boro-boro, pangeran.. aku sudah
melupakan kesaktian mereka sejak tahu mereka bahkan tidak bisa menerawang
dirinya sendiri. Payah.. dan aku kehilangan alat jitu itu..
Pikiranmu terlalu luas
untuk dilalui, terlalu dalam untuk diselami. Jadi aku memilih untuk bersembunyi
di balik rimbunan orang yang meneriakan namamu. Itu lebih aman.
Aku bermesraan dengan
malam ini. Bercumbu mesra dengan kenangan indah sepanjang jalan kota ini. Karena
aku selali menyukai keindahan di jalan ini. Pernah kita untuk beberapa detik
memandang pohon yang ditempeli cahaya ungu di bawahnya. Bersama kamu dan beberapa
detik yang berarti, untukku, itu yang terindah. Masih bisa dikenang...
Ada namamu di penghujung
rindu. Bola mata yang semakin melekat. Rindu ditelan bersama mimpi. Selamat tidur,
pangeran...ijinkan aku merindukan kamu lagi besok.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar