Kamis, 23 Agustus 2012

Luka Dalam Hembusnya



Namanya terukir dalam setiap rindu
Menyentuh jiwa yang haus akan raga baru
Menempatkannya menjadi candu menghanyu biru
Dalam setiap melodi bernada syahdu

Karena setiap hembusnya membangunkanmu
Setiap sinarnya menyilaukan pandanganmu
Setiap katanya membekukan bibirmu yang kaku

Walau pedangnya siap menyergapmu dalam malam yang gulita
Mencambuk setiap daging bagaikan sergapan seekor singa
Atau mengiris hampir setengah kulit lembutmu
Lalu kau tetap menjaga, sepeti ibu takut kehilangan bocahnya

Momentum itu menepis setiap untaian partikel nyata
Menyaring setiap suara dalam genggaman rata
Menebas memotong sampai mematikan hati
Tak ada sisa hanya luka

I WANT YOU BACK!!


Aku duduk di sini. Sekarang. Bersamanya. Jarak kami hanya sekasta milikku. Dia masih seperti yang lama sejauh ini. Tapi aku sudah lupa akarnya dari mana. Perasaan itu datang kembali begitu saja seperti angin malam yang mampir untuk menyapu penat para pelayan.

 Datang pergi, kemudian kembali lagi. Deburan ombak itu terasa menghanyu biru setiap kerinduan yang masih mencoba bertahan untuk berdiri kokoh. Sayangnya, seketika itu juga ia layu. Getarannya menusuk setiap bagian luka yang hampir sembuh, makin menggerogoti hingga rasanya tak sanggup untuk bertahan lagi.

Tembok itu runtuh menjadi partikel ringan debu yang melayang di angkasa. Tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tembok itu hilang. Bersih. Meninggalkan sepetak tanah untuk dibangun lagi. Aku memberikan wewenangku kepadamu. Untuk memberi sedikit kesan dan luka, sampai akhirnya kubangun lagi tembok untuk membentengiku darimu. Aku hanya ingin kembali, ke masa itu. Sebentar saja.

Minggu, 05 Agustus 2012

saat... saat... saat... saat...




Masih Dengan Ini Malam Ini..


Hidup mungkin gak semudah seperti yang dibayangkan. Sama sekali tidak mudah. Kita bagai dipaksa untuk terus menanjak dengan alasan segala kebutuhan ada di puncak sana. Hanya ada di sana. Tanpa pernah tau sampai kapan kita bisa sampai, atau hanya sekedar untuk tahu arah pasti kita berjalan. Kadang mungkin terasa lelah, kadang bosan menerpa, lalu kita terhenti sesaat untuk menyadari apa yang sedang kita lakukan. Melanjutkan atau tetap tinggal. Kita selalu sadar untuk tetap melangkah. Apapun yang terjadi, tapi sering kita berharap untuk dapat kembali ke rumah. Bangunan indah tiada dua, yang selalu hangat saat dingin, dan sejuk saat kemarau. Dan rumah itu adalah kamu. Masih kamu, dan mungkin selalu kamu. Ketika sadar ketidakadilan itu hanya ada, menjadi salah satu korban cemoohannya, aku masih tetap sama. Seperti kemarin. Disini. Memikirkanmu....

Kita bertemu saat embun biru menyapa rembulan. Sedikit oranye dan kuning. Disini aku duduk datang waktu dengan kaos merah tua usang sambil menggendong ransel hitam. Lalu kamu datang dengan kaus hitam yang sama sekali tak menggoda. Duduk di pelataran ruangan dengan wajah masam. Siapa yang mengenalmu?

Hidup kadang tak adil. Aku yang selalu menghabiskan malam dengan berdoa padaNya berharap kamu kembali dan kita dapat menuntaskan kisah ini sampai selesai. Aku membereskan semua draft di kotak pesanku yang berisi kata rindu untuk kukirimkan padamu jauh sebelum kutangkapi kau mengantarnya pulang. Kini harus bergumul sendiri dengan semua penat yang memusingkanku ketika ku tahu kau sedang tidak baik-baik saja. Lalu apa gunaku?

Hidup selalu tak adil. Aku yang merindukanmu siang malam sampai bosan. Memenuhi semua memori di otakku dengan detil tentangmu ketika sesuatu membangunkanku pagi hari. Aku merasakan perihnya, tapi tetap kusimpan saja. Mungkin suatu hari aku membutuhkannya, lalu aku dapat menyetelnya kembali. Tak peduli berapapun sakitnya, aku tahu itu. Aku masih ingin menikmatinya saja,bro.

Karena aku lihat kamu tadi sore. Melihatmu sedang memandanginnya. Dengan seksama. Dan dengan pandangan yang sama, selalu mengutarakan hal yang sama. Entah kenapa masih terasa indahnya masa itu. Karena aku adalah seorang wanita. Wanita akan selalu ingat, dan tak mudah lupa. Bahkan mungkin sampai akhir hayatnya.